Belajar dan menghafal al-Quran selama ini identik
dengan aktifitas para santri yang sedang bergelut dengan pelajaran
ilmu-ilmu keislaman di pondok pesantren, sementara para pelajar dan
mahasiswa lebih sering dikaitkan dengan aktifitas belajar ilmu-ilmu umum
dan teknologi modern. Mungkin terbilang langka mahasiswa hafal al-Quran
ataupun dosen hafal al-Quran.
Padahal kalau mau berkaca pada sejarah ilmuan-ilmuan muslim
yang fenomenal dalam bidang filsafat dan sains pada abad pertengahan
Islam, kita pasti akan mendapatkan segudang contoh orang-orang yang
mumpuni di bidangnya, dan mereka rata-rata hafal dan menguasai al-Quran.
Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, al-Ghazali, Ar-Razi dll, mereka adalah sosok
ilmuan yang komplit, rumus-rumus fisika, kimia, astronomi dikuasai,
tafsir, hadis, fiqh juga dipahami secara mendalam.
Apa rahasianya? Ternyata memang saat itu ada tradisi yang
kuat bahwa hafal dan faham al-Quran itu merupakan “harga mati” (tidak
boleh ditawar) sebelum mereka beranjak untuk mempelajari ilmu-ilmu
lainnya. Hal ini tercermin dalam tulisan Imam An-Nawawi dalam kitabnya
“Al-Majmu”:
وَيَنْبَغِىْ أَنْ يَبْدَأ مِنْ دُرُوْسِهِ عَلَى
المَشَايِخِ: وَفِي الحِفْظِ وَالتِّكْرَارِ وَالمُطَالَعَةِ بِالْأَهَمِّ
فَالْأهَمُّ: وَأوَّلُ مَا يَبْتَدِئُ بِهِ حِفْظُ الْقُرْآنِ الْعَزِيْزِ
فَهُوَ أَهَمُّ العُلُوْمِ وَكَانَ السَّلَفُ لاَ يَعْلَمُوْنَ الْحَدِيْثَ
وَالفِقْهَ إلاَّ لِمَنْ حَفِظَ الْقُرْآنَ
“ Hal Pertama ( yang harus diperhatikan oleh seorang
penuntut ilmu ) adalah menghafal Al Quran, karena ia adalah ilmu yang
terpenting, bahkan para ulama salaf tidak akan mengajarkan hadis dan
fiqh kecuali bagi siapa yang telah hafal Al Quran. “Imam Nawawi, Al Majmu’,( Beirut, Dar Al Fikri, 1996 ) Cet. Pertama, Juz : I, hal : 66
Dan menurut pengamatan penulis, sejumlah mahasiswa yang
menghafal al-Quran ataupun yang telah hafal, memiliki tingkat kecerdasan
dan kreatifitas lebih dibanding lainnya. Rektor Universitas Islam
Negeri Maulana Malik Ibrahim (Maliki) Malang, Bapak Prof. Dr. Imam
Suprayogo, dalam acara wisuda 2008 pernah menyampaikan bahwa dalam
beberapa tahun terakhir peraih predikat mahasiswa terbaik selalu diraih
oleh mahasiswa yang hafal al-Quran. Hal yang sama juga dibuktikan oleh
keluarga Bapak Mutammimul Ula. Kesepuluh putra putrinya yang sedang
menghafal al-Quran itu rata-rata menjadi pelajar dan mahasiswa terbaik
di sekolah mereka masing-masing.
Oleh karena itu tidak heran bila ada testimoni yang
mengejutkan dari Dr. Abdul Daim al-Kaheel dari Kuwait. Beliau menulis
dalam Artikel yang berjudul: Asrar al-Ilaj bi istima’ ila al-Quran dalam
situs pribadinya: www.kaheel7.com, sebagai berikut:
وَيُمْكِنُنِيْ أنْ أُخْبِرَكَ عَزِيْزِيْ القَارِئُ أنَّ
الْاِسْتِمَاعَ إلىَ الْقُرْآنِ بِشَكْلٍ مُسْتَمِرٍّ يُؤَدِّيْ إلىَ
زِيَادَةِ قُدْرَةِ الْإِنْسَانِ عَلَى الْإِبْدَاعِ، وَهَذَا مَا حَدَثَ
مَعِيَ، فَقَبْلَ حِفْظِ الْقُرْآنِ أَذْكُرُ أنَّنِيْ كُنْتُ لاَ أُجِيْدُ
كِتَابَةَ جُمْلَةٍ بِشَكْلٍ صَحِيْحٍ، بَيْنَمَا الآنَ أقُوْمُ
بِكِتَابَةِ بَحْثٍ عِلْمِيٍ خِلاَلَ يَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ فَقَطْ
Bisa saya informasikan pada para pembaca yang terhormat
bahwa mendengarkan ayat al-Quran secara kontinyu akan menambah kemampuan
berinovasi, sebagaimana yang terjadi pada diri saya. Sebelum hafal
al-Quran, saya masih ingat, saya kesulitan menulis satu kalimat dengan
baik dan benar, sementara sekarang saya mampu menulis karya ilmiah hanya
dalam kurun waktu satu sampai dua hari saja.
Untuk itu, kehadiran artikel ini dirasa penting
untuk memotivasi dan mengarahkan mahasiwa yang belum atau sedang
menghafalkan al-Quran agar mereka bergairah untuk menghafal dan
harapannya, mereka kelak menjadi generasi Islam yang unggul dan mumpuni,
sebagai “reinkarnasi” dari Al-Ghazali, Ar-Razi, Ibnu Miskawaih dll.
Salah satu tahapan utama dan pertama adalah menjadikan para mahasiswa
muslim mau menghafal dan memahami al-Quran.
Berikut ini motivasi dan alasan-alasan ringan, realistis,
praktis, tentang mengapa al-Quran itu penting untuk dihafal oleh
mahasiswa.
1. Otak, semangat, dan kesempatan Anda sekarang berada di masa keemasan
Kalau Anda seorang mahasiswa, pasti usia Anda masih dalam
kisaran 18-24 tahun. Usia tersebut masuk dalam kategori usia subur dan
produktif (golden age) dalam mencari ilmu, termasuk menghafal. Terkait
ini dengan usia ini, Syekh Alwi al-Haddad –dalam bukunya “Sabilul
Iddikar” (matan kitab An-Nashaih ad-Diniyyah) mengatakan:
وَأعْجَزَهُ الْفَخَارُ فَلاَ فَخَارَ
|
إذَا بَلَغَ الْفَتَى عِشْرِيْنَ عَاماً
|
فَلا سُدْتَ ماَ عِشْتَ مِنْ بَعْدِهِنَّهْ
|
إذَا لَمْ تَسُدْ في لَيَالي الشَّبَابْ
|
Ketika usia remaja menginjak 20 tahun dan tidak memiliki kebanggaan, maka tidak akan muncul kebanggaan lagi
Ketika engkau tidak mampu menguasai masa remaja, maka engkau tidak bisa menguasainya setelah itu selama hidupnya.
Dengan kata lain, “hari ini” bagi seorang remaja adalah
miniatur kesuksesan di masa yang akan datang. Bila “hari ini” dalam diri
seorang remaja telah tumbuh benih-benih kompetensi, integritas,
kepemimpinan, etos kerja tinggi, kemungkinan besar 10 tahun atau 15
tahun yang akan datang, sudah menjadi orang sukses sesuai dengan yang
dia kerjakan sekarang.
2. Bersyukurlah, tidak banyak orang yang bisa baca al-Quran
Mensyukuri anugerah Allah adalah sebuah keniscayaan manusia
sebagai hamba Allah. Allah memberikan anugerah kepada hambanya sesuai
takaran takdir yang dibarengi dengan ikhtiar maksimal. Oleh karenanya,
kadar karunia yang Allah berikan kepada hambanya berbeda-beda satu sama
lain. Allah berfirman (QS. An-Nahl:71):
وَاللَّهُ فَضَّلَ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الرِّزْقِ
Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rezki,
Rizki itu bisa berupa harta, anak, kesehatan, ilmu dan
persaudaraan. Kalau anda hari ini kemampuan membaca ayat-ayat al-Quran
dengan baik, syukuri itu sebagai bagian dari rizki Allah. Tidak banyak
orang yang bisa membaca al-Quran, hanya orang pilihanlah yang diberi
kemampuan itu.
Nabi bersabda:
مَنْ يُرِدِ اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
Barang siapa yang dikehendaki Allah menjadi orang baik, maka dia memeiliki pemahaman dalam agama
Pengalaman saya (penulis) mengajar matakuliah PAI
(pendidikan Agama Islam) di beberapa kampus di kota Malang, rata-rata
80% dari mereka belum bisa baca al-Quran padahal usia mereka berkisar
18-20 tahun. Belum lagi kemampuan baca al-Quran masyarakat umum non
mahasiswa, tentu lebih banyak lagi. Jika kita tergolong orang yang bisa
baca al-Quran, maka bersyukurlah dengan cara yang lebih produktif.
Adakalanya dengan memperbanyak bacaan al-Quran, meningkatkan pemahaman
kandungannya atau meneruskannya ke jenjang tahfidz (menghafalkan).
Mungkin tidak akan bermanfaat apa-apa, apabila kemampuan
baca al-Quran yang dimiliki itu tidak diamalkan secara istiqamah.
Sebagaimana pisau, ia tidak akan berarti apa-apa bila tidak digunakan
untuk keperluan memotong. Allah memberikan ilmu hakikatnya bukanlah
sebagai tujuan (goal) tapi semata alat (medium) untuk sampai pada tujuan. Sedang tujuan akhirnya adalah pengamalan serta pengajaran al-Quran itu sendiri.
3. Betapa banyak orang yang merindukan untuk menjadi penghafal al-Quran
Saya banyak berkenalan dengan tokoh-tokoh Islam, akademisi
yang ada di kota Malang. Mereka sekarang sudah jadi orang hebat,
dihormati, memiliki penghasilan tinggi. Di antara mereka ada yang
bercerita pada saya: ”mas, saya sampai sekarang ini masih mendambakan
untuk bisa hafal Al-Quran, tapi pada usia setua ini apa masih bisa?
Bahkan, salah seorang dosen saya di S3 UIN Maliki Malang, dengan usia di
atas 50 tahun, mengatakan: “saya sekarang menghafalkan al-Quran,
berapapun dapatnya tidak masalah, sebab Allah menghargai proses bukan
hasil. Cita-cita saya sebelum meninnggal, kalau bisa semua ayat al-Quran
sudah pernah dihafal agar memori otak yang Allah ciptakan ini pernah
terisi dengan file-file al-Quran.” Bukankah otak atau hati yang berisi al-Quran tidak akan disiksa oleh Allah? Sebagaimana sabda Rasulullah:
عن أبي أمامة : إنَّهُ كَانَ يَقُوْلُ اِقْرَؤُوْا الْقُرْآنَ
وَلَا يَغُرَّنَّكُمْ هَذِهِ الْمَصَاحِفَ الْمُعَلَّقَةَ فَإِنَّ اللهَ
لَنْ يُعَذِّبَ قَلْبًا وَعَى الْقُرْآنَ (رواه الدارمي)
Bacalah al-Quran, jangan sekali engkau tertipu dengan
mushaf yang tergantung ini, karena Allah tidak akan menyiksa hati yang
berisi al-Quran (HR. Ad-Darimi)
Demikian juga salah seorang pembantu rektor di Universitas
Negeri Malang, secara implisit bertanya hal yang hampir sama pada saya,
yaitu tentang tata cara menghafal dan menjaga al-Quran di usia dewasa.
Dua tahun yang lalu, saya mengikuti acara khataman di rumah Ustdaz
Asrukin (Dosen Ilmu Perpustakaan UM), di sana bertemu orang “sepuh”
dari Kepanjen Malang yang sedang menghafal al-Quran sejak usia 55
tahun, waktu itu baru bisa menghafal 25 juz. Di Pesantren Darul Quran
Singosari Malang, juga pernah kedatangan santriwati berusia 50-an tahun
dari daerah Tanggul kota Jember. Teman saya, seorang ibu dua anak masih
menyempatkan diri setoran hafalan al-Quran seminggu sekali di Pesantren
Nurul Ulum Kebonagung Malang. Mungkin mereka yang merindukan menjadi
penghafal al-Quran tersebut sudah pernah mencoba tapi gagal, atau
mungkin karena kesibukannya tidak sempat menghafal. Jadi, kalau hari ini
Anda menghafal, berarti Anda telah melakukan sesuatu yang banyak
dirindukan orang lain. Kalau mereka baru bermimpi, Anda sudah
melakukannya, berbahagialah!
4. Tidak banyak orang yang punya niat dan mulai menghafal
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa kemampuan baca
al-Quran yang sudah ada selama ini seharusnya ditingkatkan, sebagai
ungkapan rasa syukur pada Allah. Demikian juga, bila kita hari ini sudah
punya niat untuk menghafal dan sudah mulai menghafal, maka
bersyukurlah, sebab tidak banyak orang yang mendeklarasikan diri untuk
berkomitmen menghafal (nawaitu) dan mulai melakukannya.
Rasa syukur itu semestinya dimanifestasikan secara konkrit
dalam bentuk upaya maksimal meneruskan hafalan itu hingga paripurna
(tuntas). Ibarat biji tanaman, setelah ditancapkan ke dalam tanah, ia
harus kontinyu disiram dan dipupuk sampai tumbuh dan berkembang subur
lalu berbuah.
5. Tidakkah kita malu dengan anak balita yang hafal al-Quran
Belum lama ini di situs Youtube terpampang seorang anak balita brilian yang membaca al-Quran bil ghaib.
Dialah Abdurrahman Farih dari Al-Jazair (yang saat direkam baru berusia
tiga tahun). Siapakah orang tua yang tidak bangga memiliki anak
sesholih dan secerdas dia. Di Indonesia, orang tua yang anaknya
terjaring dalam DACIL (Audisi Dai Cilik) saja bangganya bukan kepalang.
Hal yang perlu menjadi catatan kita, dalam usia semuda itu si Farih
telah memulai dan melaksanakan hafalan hingga tuntas.
Bagaimana dengan Anda? Sudah berapa usia Anda? Bila hari
ini usia Anda sudah di atas 18 tahun dan belum nawaitu untuk menghafal
atau belum tuntas dalam menghafal, patutlah Farih menjadi ”cambuk”, agar
anda merasa malu dan tergerak untuk memulai. Kapan lagi memulai, jangan
pernah menunda sebuah niat suci. Motivasi tidak ada jaminan datang dua
kali. Bisa jadi, niat yang pelaksanaannya tertunda akan menguap dan
sirna selamanya.
Jangan putus asa bila di usia sekarang Anda belum sukses,
masih ada beberapa tahun menuju usia 23 tahun dimana sepanjang itu
al-Quran lengkap diturunkan. Atau mungkin usia Anda sudah di atas 30
tahun, jangan putus asa untuk menghafal sebab Rasulullah mulai menerima
wahyu dan menghafal baru di usia 40 tahun. Kalau usia anda di usia 55
tahun belum selesai menghafal, jangan putus ada karena Rasulullah tuntas
menerima wahyu di usia 61 tahun.
6. Tidak inginkah kita membahagiakan orang yang selama ini rela menderita untuk kita
Setiap kali terlahir anak manusia, pasti di sana ada orang
yang ikut bersuka cita menyambut kehadiran sang bayi. Siang malam
tercurah kasih sayangnya. Dialah ayah dan ibu kita. Sang anak tumbuh
menjadi besar lalu menjadi remaja, tak pernah lepas dari belaian kasih
sayang orang tua terutama ibu. Mereka rela menderita demi kebahagiaan
sang anak. Keringat dan air mata menghiasi keikhlasan mereka dalam
mendidik dan membesarkan putra putrinya.
Mahasiswa yang sedang studi jauh dari orang tua, terkadang
tidak banyak tahu tentang penderitaan orang tua di rumah, bagaimana
mereka membanting tulang, berhutang rupiah kesana kemari demi
kelangsungan studi putra putrinya yang berada di perantauan, nun jauh di
sana. Si anak sering tidak diberitahu tentang suka duka orangtua yang
di rumah, agar tidak tak terganggu konsentrasi mereka. Namun, si anak
mesti merasakan dan peka akan suka duka orang tua tersebut. Harapannya,
dari sana akan muncul empati serta simpati dari anak, untuk kemudian
berupaya untuk memberikan balas budi kepada orang tua kelak di kemudian
hari.
Dengan menghafal al-Quran, kita ingin memanjakan orang tua
supaya mereka bisa bangga dan terhibur. Rata-rata orang tua sudah merasa
senang manakala anaknya berprestasi dan berperilaku baik, tawaddu’,
dibanding semata-mata ”pamer kekayaan”. Paling tidak, dalam bayangan
orang tua, ketika mendengar anaknya hafal al-Quran, kelak pahala baca
al-Quran dari anak tak kan pernah putus dan akan senantiasa menerangi
kubur mereka dengan cahaya al-Quran.
Rasulullah bersabda:
عَنْ سَهْلِ بْنِ مُعَاذٍ الْجُهَنِىِّ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ
رَسُولَ اللَّهِ –صلى الله عليه وسلم- قَالَ « مَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ
وَعَمِلَ بِمَا فِيهِ أُلْبِسَ وَالِدَاهُ تَاجًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
ضَوْؤُهُ أَحْسَنُ مِنْ ضَوْءِ الشَّمْسِ فِى بُيُوتِ الدُّنْيَا (رواه أبو
داود)
Barang siapa yang membaca al-Quran dan mengamalkan
isinya maka pada hari kiamat kedua orang tuanya akan diberi mahkota yang
cahayanya lebih indah daripada sinar matahari di dunia.
7. Begitu indahnya, jika kubur orang tua kita selalu bersinar lantaran al-Quran yang selalu kita baca
Sebagai orang beriman, kita meyakini akan adanya siksa
kubur dan akherat. Juga kita meyakini bahwa al-Quran yang kita baca
pasti akan sampai pada orang yang telah meninggal. Cepat atau lambat
orang tua kita pasti berpulang ke hadirat ilahi rabbi. Alangkah
indahnya, jika kubur orang tua kita yang sempit dan gelap, bertaburkan
cahaya al-Quran. Orang yang hafal al-Quran secara umum memiliki
intensitas bacaan yang lebih tinggi dibanding dengan yang tidak,
sehingga peluang untuk mendoakan dan mengirimkan pahala pada orang tua,
lebih terbuka.
Abu Ja’far meriwayatkan dari Abdullah bin Umar ra. Bahwa
orang mukmin itu apabila diletakkan di dalam kuburnya maka kuburnya itu
dilapangkan 70 hasta, ditaburi harum-haruman dan ditutup dengan kain
sutera. Apabila ia hafal sebagian dari Al-Qur’an maka apa yang
dihafalnya itu menerangi seluruh kuburnya, dan apabila ia tidak hafal,
maka ia dibuatkan cahaya seperti matahari di dalam kuburnya. Ia bagaikan
pengantin baru yang tidur dan tidak dibangunkan kecuali oleh isteri
yang sangat dicintainya. Kemudian ia bangun dari tidurnya seakan-akan ia
belum puas dari tidurnya itu.
8. Betapa inginnya kita mendapatkan pendamping yang lidahnya selalu basah dengan al-Quran
Sayyidina Ali Karromallahu Wajhah berkata:
عَامِلِ النَّاسَ بِمَا تُحِبُّ أَنْ يُعَامِلُوْكَ بِهِ
Perlakukan orang lain dengan sesuatu yang kau ingin diperlakukan seperti itu.
Bila kau ingin dapat hadiah, seringlah memberi hadiah pada
orang lain. Sebaliknya bila kau ingin disakiti oleh orang lain, sakiti
dia. Ungkapan tersebut senada dengan hadis nabi:
وَلْيَأْتِ إِلَى النَّاسِ الَّذِي يُحِبُّ أَنْ يُؤْتَى إِلَيْهِ (رواه مسلم)
Lakukan pada orang lain sesuatu yang dia suka diperlakukan seperti itu.
Kecenderungan banyak orang, mereka ingin memperoleh
pasangan hidup yang sempurna (cantik/tampan, pandai, setia, kaya dsb).
Sementara, tidak banyak yang memperindah dirinya dengan sifat-sifat
sempurna semacam itu. Termasuk hal yang diidamkan oleh mayoritas
muslim/muslimah adalah memiliki istri atau suami yang mahir atau hafal
al-Quran. Begitu indah rasanya, apabila dalam keluarga yang dimotori
oleh suami atau istri, ada gema lantunan ayat suci al-Quran yang tak
pernah putus. Dengan demikian, suasana rumah akan terasa sejuk penuh
aura kedamaian dan bertebarkan cahaya qurani.
Rumah sebagai sebuah lembaga informal untuk mendidik putra
putri yang salih shalihah dan akan sukses, manakala anak-anak meneladani
hal-hal baik yang dilakukan orangtuanya. Dari sini, banyak contoh yang
bisa dipaparkan. Keluarga alm. KH. Amir Singosari Malang, enam anaknya
hafal al-Quran, kel. Drs. Mutammimul Ula di Bekasi, 10 anaknya hafal
al-Quran dll.
Hanya saja, sebaiknya ketergantungan kita dengan orang lain
dihilangkan. Daripada mengharap pasangan kita yang ideal, lebih baik
mengidealkan diri kita sendiri. Daripada bermimpi mendapatkan jodoh
penghafal al-Quran yang susah terrealisasi, lebih baik kita sendiri
menjadi penghafal al-Quran, why not? Alih-alih mengharap dan mencari,
kita malah diharap dan dicari orang lain, insyaallah.
9. Begitu indahnya, jika kita membesarkan anak-anak kita dengan gema dan aura al-Quran
Mereka yang hari ini sukses, jadi orang besar, jadi orang
baik, pasti mereka dididik dengan pola asuh yang benar. Mereka pernah
kecil, mengalami masa kanak-kanak yang indah dan menyenangkan. Kita
semua juga ingin anak-anak kita hidup demikian.
Tentu, dimulai dari orang tuanya. Sapu yang bersih akan
dengan mudah membersihkan tempat kotor. Sapu yang kotor malah mengotori
tempat bersih. Orangtua yang hafal al-Quran berpotensi menciptakan
generasi yang hafal al-Quran juga. Di saat anak-anak masih tidur
menjelang tiba waktu Subuh, kita bangunkan mereka dengan nada-nada
al-Quran. Konon, alam bawah sadar anak (otak pada gelombang teta) akan
terus merekam suara-suara luar meski mereka terlelap tidur.
Meninabobokkan bayi, sembari memperdengarkan alunan kalam ilahi,
sungguh memberikan energi positif yang luar biasa.
Demikian juga, ketika mengantar dan menjemput anak sekolah,
tak henti-hentinya orang tua memandu hafalan anak. Lebih-lebih lagi,
waktu anak-anak sakit selalu dibacakan doa-doa dan ayat al-Quran untuk
memohon kesembuhan mereka. Berkunjung ke makam famili dan orang sholih,
kita ajari mereka mendoakan dan membacakan al-Quran serta pada even-even
penting lainnya.
10. Suatu ketika, kita pasti menjadi dewasa lalu tua, apa kegiatan kita di saat-saat menyongsong ajal tersebut?
Sudah bukan rahasia lagi, bahwa masa tua adalah masa dimana
orang rentan terhinggap banyak penyakit, semua organ tubuh sudah
berkurang fungsi dan powernya. Mata sudah mulai kabur, pendengaran juga
tidak setajam dahulu. Mungkin pada usia itu, kita sudah pensiun dari
pekerjaan, rumah sudah bagus, harta melimpah, sehingga tidak lagi
membutuhkan aktivitas kerja lagi. Dalam kondisi seperti ini, apakah Anda
betah berjam-jam duduk di depan televisi saja atau hanya jalan-jalan
ringan mengelilingi rumah, meski harta melimpah. Lalu mana aktivitas
ibadahnya?
Seusai shalat wajib di masjid tentu berdzikir lalu pulang
ke rumah begitu seterusnya. Mau baca al-Quran mata tidak lagi jelas,
apalagi menghafal. Relakah masa tua kita hanya seperti itu? Tidakkah
kita ingin setiap hembusan nafas yang keluar dari mulut kita adalah
untaian kalimat al-Quran. Setiap detakan jantung bernilai sepuluh
kebaikan lantaran satu huruf al-Quran yang kita baca. Siang dan malam
hari, juz demi juz terdendangkan dengan merdu. Semua itu mustahil
terjadi apabila seseorang tidak hafal al-Quran. Meski mata tak mampu
melihat lekukan huruf-huruf al-Quran, tetapi hati sangat tajam dan
pikiran terus bersinar, mampu menangkap lafadz dan makna al-Quran.
Keistiqamahan semacam ini insyaallah menjamin kita untuk menghembuskan
nafas terakhir dengan khusnul khatimah, amin.
Rasulullah saw menganjurkan agar “kepulangan kita” kelak kepada Allah dalam kondisi membawa al-Quran, beliau bersabda:
إنَّكُمْ لاَ تُرْجَعُوْنَ إلىَ اللهِ بِشَيْءٍ أَفْضَلُ مِمَّا خَرَجَ مِنْهُ يَعْنِيْ الْقُرْآنَ (رواه الحاكم عن أبي ذر الغفاري)
Sesungguhnya kalian tidak dikembalikan kepada Allah
dengan membawa sesuatu yang lebih utama dibanding sesuatu yang keluar
dari Allah yaitu al-Quran.
11. Maukah “rapot merah” amal kita “dikatrol” oleh al-Quran?
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِه (رواه مسلم عن أبي أمامة(
Bacalah al-Quran, niscaya dia kan datang pada hari kiamat sebagai penolong pembacanya.
Hadis ini memberikan garansi kepada para pembaca al-Quran
atau orang yang mendalami al-Quran. Garansi tersebut cukup melegakkan
kita semua, sebagai hamba Allah yang penuh salah dan dosa. Di hari
ketika harta dan tahta tidak lagi mampu menyelamatkan kita dari kobaran
api neraka.
Anak dan saudara juga tak kuasa menolong dari dalamnya
jurang jahannam, saat itulah al-Quran datang sebagai syafi’
(penyelamat). Hari itu tak ada yang kita butuhkan melainkan rahmat Allah
dan amal baik yang tulus kita lakukan. Allah memberikan 10 tiket surga
kepada penghafal al-Quran yang juga pengamal isinya, untuk dibagikan
pada keluarganya, sebagaimana sabda Rasulullah:
علي بن أبي طالب قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم
مـَنْ قَرَأَ الْقُرْآنَ وَاسْتَظْهَرَهُ فَأَحَلَّ حَلَالَهُ وَحَرَّمَ
حَرَامَهُ أدْخَلَهُ اللهُ بِهِ الْجَنَّةَ وَشَفَّعَهُ فِيْ عَشْرَةٍ مِنْ
أَهْلِ بَيْتِهِ كُلِّهِمْ وَجَبَتْ لَهُ النَّارُ (رواه الترمذي)
Barang siapa membaca dan menghafal al-Quran lalu
menghukumi halal dan haram berdasar al-Quran, maka Allah akan
memasukkannya ke surga dan memberi hak untuk menolong 10 keluarganya
yang telah dipastikan masuk neraka.
12. Betapa inginnya kita selalu berhujjah dengan al-Quran dalam disiplin ilmu apapun
Hampir semua perguruan tinggi Islam di timur tengah
mensyaratkan calon mahasiswanya hafal al-Quran minimal tiga juz untuk
jurusan non keislaman dan mahasiswa non Arab, dan 15 juz untuk jurusan
keislaman bagi mahasiswa dari negara-negara Arab. Persyaratan tersebut
didasarkan pada pertimbangan akademis-ilmiyah. Sebagai calon intelektual
muslim, mahasiswa muslim diharapkan mampu mengkolaborasikan ilmu umum
dengan ilmu agama dan mensinergikan ayat qur’aniyyah dengan ayat
kauniyyah.
Faktor inilah yang menambah tingkat urgensi hafalan. Orang
yang hafal sangat berpotensi untuk paham arti kandungannya. Mereka yang
hafal dan paham, berpotensi memiliki kapasitas dalam melakukan istinbath
hukum serta proses istidlal secara cepat dan akurat.
Al-Quran menopang disiplin ilmu apapun. Ayat-ayat yang
terkait ilmu-ilmu sosial, budaya, seni, sangat melimpah dalam al-Quran.
Kita mendambakkan sosok seperti al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Sina, mereka
jadi orang jenius dan kapabel dalam bidangnya masing-masing setelah
menghafal al-Quran. Al-Quran yang telah terpatri dalam diri mereka,
mampu menginspirasi untuk memunculkan karya monumental mereka yang abadi
hingga kini. Dalam otak dan jiwa mereka seakan terdapat ensiklopedia
besar nan lengkap. Ia siap diartikulasikan kapan saja, di mana saja dan
dalam bidang apapun. Terlebih lagi untuk hal-hal yang bersinggungan
dengan ilmu-ilmu keislaman, seperti fiqh, tafsir, hadis dsb.
Mengamati sejarah keilmuan para fuqaha, mufassirin,
muhadditsin yang populer, hampir tidak diketemukan dari mereka, orang
yang tidak hafal al-Quran. Bahkan rata-rata mereka hafal al-Quran di
usia anak-anak. Misalnya, Imam Syafii hafal al-Quran di usia 7 tahun.
13. Betapa sejuknya hati, bila Al-Quran menghiasi setiap kegiatan dalam keseharian kita
Kesejukan dan kedamaian hati bisa disebabkan oleh banyak
hal. Adakalanya kedamaian hati muncul karena ketercukupan materi dan
keterpenuhan kebutuhan finansial. Bisa juga kedamaian hati itu datang
melalui dzikir dan membaca al-Quran. Sebagaimana firman Allah: Ingatlah
dengan mengingat Allah hati menjadi tenang. Artinya, semakin banyak kita
membaca al-Quran, semakin lama pula tingkat kedamaian yang menyelimuti
kita.
Al-Quran bisa dibaca secara fleksibel kapan saja; pagi,
siang, sore, petang, malam, tengah malam, saat senang, saat susah.
Demikian juga, ia bisa dibaca dimana saja; di atas sajadah, di atas
kasur, di atas kendaraan, sambil jalan, sambil beraktifitas.
Fleksibilitas tersebut hanya dapat dilakukan bila yang bersangkutan
hafal al-Quran secara lancar.
Kehadiran teknologi canggih saat ini sangat membantu
meminimalisir kesalahan. Dengan teknologi audio digital, kita dapat
mendengarkan al-Quran secara utuh melalui piranti MP3 portable yang
terhubung dengan earphone mini. Teknologi visual juga tidak kalah
canggih, al-Quran sekarang sudah bisa diinstall dalam perangkat ponsel,
Ipad, Iphone maupun Blackberry. Dengan kata lain, hafalan yang kurang
lancar, bukan sebuah kendala, sebab bisa diatasi dengan perangkat
canggih tersebut.
14. Yakinlah bahwa Al-Quran akan menolong kita selama kita juga menolong Al-Quran
Al-Quran adalah kalamullah (firman Allah), sekaligus
mukjizat nabi Muhammad terbesar. Mengikuti pesan-pesan yang terdapat
dalam al-Quran hakikatnya adalah taat pada Allah dan rasulnya. Ikut
memelihara al-Quran berarti ikut merealisasikan janji Allah dalam
al-Quran: Sesungguhnya kamilah yang menurunkan al-Quran dan kamilah yang
menjaganya.
Dalam ayat tersebut, terdapat kata “inna” yang berarti
kami, padahal yang dimaksud adalah Allah. Sebagian mufassir mengatakan
bahwa maksud ayat tersebut adalah pelibatan manusia dalam rangka
penjagaan Allah terhadap al-Quran. Para ulama sepakat bahwa hukum
menghafal al-Quran itu fardlu kifayah. Keputusan hukum tersebut
diantaranya didasarkan pada ayat di atas.
Hal senada dengan itu, firman Allah: Jika kalian membantu
Allah pastilah Allah akan membantu kalian. Dengan kata lain kalau kalian
membantu al-Quran maka al-Quran akan membantu kalian. Betapa banyak
orang yang hidupnya bahagia sejahtera, lantaran mencurahkan perhatiannya
untuk belajar dan mengajarkan al-Quran. Bentuk perjuangan tertinggi
dalam membantu al-Quran adalah menghafalkannya. Untuk itu yakinlah,
setelah kita bersusah payah menghafalkan al-Quran kelak hidup kita akan
ditata langsung oleh Allah.
15. Tidak banyak, orang yang mendapatkan fasilitas hidup seperti kita. Apa wujud terima kasih kita?
Rasa syukur yang mendalam atas sebuah nikmat mampu
menginspirasi untuk berbuat lebih baik. Dengan menyadari karunia Allah
berupa kemampuan baca al-Quran atau berupa rizki yang cukup, seseorang
pasti ingin mengungkap rasa syukurnya kepada pemberi karunia tersebut,
yaitu Allah swt. Syukur yang hakiki adalah mengarahkan karunia tersebut
sesuai dengan yang dikehendaki Allah.
Lalu bagaimana mensyukuri karunianya yang berupa kemampuan
baca al-Quran? Sepakat atau tidak sepakat harus diakui bahwa di
sekeliling kita sangat langka orang yang bisa baca al-Quran dengan baik
dan benar. Secara tersirat dapat dipahami bahwa Allah memang memilih
diantara hambanya orang-orang yang dititipi al-Quran. Orang pilihan
pastilah orang yang terpercaya. Orang yang terpercaya pastilah ia orang
yang terbaik. Allah berfirman:
ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ
عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِّنَفْسِهِ وَمِنْهُم مُّقْتَصِدٌ
وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ
الْكَبِيرُ ﴿فاطر:٣٢﴾
Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang
Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang
menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan
dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan
dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.
Adapun bentuk rasa syukur tersebut adalah memperbanyak
membaca atau menghafalkannya atau memahami isi kandungannya atau
melakukan ketiganya. Orang yang diberikan kemampuan membaca dengan baik,
hakikatnya dia baru diberi media untuk menjadi orang baik. Sama halnya
orang yang diberi kail untuk memancing atau pisau untuk memotong. Kail
dan pisau tersebut oleh si pemberi bukan untuk hiasan. Si pemberi
sebetulnya sedang menanti kapan kail dan pisau tersebut dipakai. Si
pemberi akan merasa puas apabila kedua alat tersebut benar-benar telah
dipakai untuk kebaikan. Demikian juga kemampuan baca al-Quran, ia hanya
sebuah media (wasilah), sementara tujuan diberikannya karunia tersebut
adalah dengan membaca sebanyak-banyaknya, menghafalkannya, dan memahami
kandungannya.
16. Mulailah dari nol, karena ia pengganda setiap bilangan. Mulailah dari niat, karena ia menjadi penentu setiap sukses.
Banyak orang mendambakan suatu cita-cita dan
memimpikan cita-cita tersebut tergapai dengan mudah tanpa pengorbanan.
Tak terhitung mereka yang kagum dengan para penghafal al-Quran. Tak
terhitung pula mereka berkeinginan untuk menjadi penghafal al-Quran.
Hanya saja tidak banyak dari mereka yang menindaklanjuti keinginan
tersebut dalam bentuk aksi nyata. Terkait dengan fenomena ini Ibn
Athaillah dalam kitabnya Al-Hikam mengatakan:
كَيْفَ تَخْرِقُ لَكَ الْعَوَائِدُ وَأَنْتَ لَـمْ تَخْرِقْ مِنْ نَفْسِكَ الْعَوَائِدَ
Bagaimana mungkin engkau mendapatkan keluarbiasaan (khoriqul adah) kalau engkau tidak mengeluarkan dirimu dari kebiasaan
Setiap kesuksesan pasti diawali dari sebuah perjuangan dan
pengorbanan. Setiap perjuangan dalam meraih kesuksesan pastilah akan
berhadapan dengan sekian banyak rintangan. Bukankah dalam agama sendiri
-menurut al-Quran- terdapat banyak jalan mendaki (aqabah)? Dan Allah
menjanjikan surga bagi orang yang melewati aqabah terbut.
Bila Anda sekarang ini memiliki keinginan untuk menghafal
al-Quran, syukurilah itu karena ia adalah obor yang membantu kita
melewati gelapnya lorong panjang menuju taman surgawi yang abadi. Jangan
pernah rasa cinta dan motivasi tersebut redup dan memudar lalu padam.
Pelihara obor itu agar lebih terang dan semakin terang. Obor yang padam
akan susah menyala kembali. Obor yang padam tidak dapat dipastikan kapan
ia menyala kembali dan tidak ada jaminan untuk menyala kembali.
Untuk itu mulailah dari sekarang, jangan pernah menunda
kesempatan emas karena ia tidak akan pernah datang untuk kedua kalinya.
Mulailah selalu dengan niat dan komitmen tinggi. Niat laksana angka nol
yang menggandakan jumlah bilangan. Tanpa angka nol, tidak mungkin ada
angka sepuluh, seratus, seribu dan seterusnya. Sebagaimana juga tidak
mungkin ada urutan ke sepuluh tanpa dimulai dari urutan pertama. Artinya
untuk mengejar cita-cita suci, perlu sebuah niat dan komitmen yang
mantap, baru setelah itu memulai tahap I, tahap terendah yang mesti
dilalui.
Mustahil, bila ada orang hafal al-Quran 30 juz secara
instan, alias bim salabim, dalam hitungan hari. Jangan bermimpi
berlebihan bahwa Anda bisa hafal al-Quran melalui jalan ladunni
(pemberian langsung dari Allah), sehingga waktu habis untuk mencari
wirid kesana kemari dan mengamalkannya berbulan-bulan, sementara
kegiatan menghafalnya tidak ada sama sekali. Imam Ar-Raghib Assirjani
pernah mengatakan:
مَا لَمْ يَبْذُلْ جُهْدًا فِي حِفْظِهِ فَلاَ يَبْقَى فِي الذَّاكِرَةِ إلاَّ قَلِيْلاً (الراغب السرجاني)
Barang siapa yang tidak mengerahkan sekuat tenaga untuk menghafal, maka tidak akan tersisa di otaknya kecuali hanya sedikit.
Saya bersama rombongan JQH (Jamiyyah Qurro’ wal Huffadz,
kini bernama HTQ) Universitas Islam Negeri Malang tahun 2006 berkunjung
ke beberapa pesantren di daerah Mojokerto dan Jombang. Dalam kunjungan
tersebut, kami sempat menanyakan perihal wirid/doa yang mempercepat
hafalan. Tak satupun dari para masyayikh yang kami kunjungi memberikan
ijazah doa/wirid. Sebaliknya mereka justru mengatakan bahwa doa yang
paling mustajab adalah al-Quran itu sendiri. Mereka lebih menekankan
pada para santri yang sedang menghafal untuk fokus hafalan secara
istiqomah dan menjauhi wirid-wirid khusus yang panjang. Pepatah Arab
mengatakan:
بَيْضَةُ الْيَوْمِ خَيْرٌ مِنْ دَجاَجَةِ الْغَدِ
Lebih baik mengharap telur yang ada di hari ini dari pada mengharap ayam tapi masih besok adanya
17. Akankah kita menyerah sebelum pertandingan benar-benar selesai?
Tiap orang memiliki daya tahan (endurence) dan fokus
yang berbeda-beda dalam menghafal, sehingga tidak jarang para santri
itu berhenti di tengah perjalanan alias belum tuntas 30 juz, kendati
banyak juga yang selesai tuntas. Terkadang ketidaktuntasan tersebut
dipengaruhi oleh faktor eksternal, misalnya lingkungan menghafal yang
kurang kondusif dan lemahnya dukungan keluarga. Bisa juga masalah muncul
dari lemahnya motivasi internal.
Sejak awal, mestinya santri atau mahasiswa mengidentifikasi
kemampuan dirinya. Apakah dia memiliki daya tahan dan fokus yang kuat?
Apa dia juga memiliki motivasi yang tinggi? Proses identifikasi tersebut
dilakukan dengan cara menghafal juz 30 terlebih dahulu. Juz 30 atau
yang lebih dikenal dengan juz ‘amma memiliki karakteristik ayat dan
surat yang pendek-pendek. Tentu dengan karakteristik seperti ini, juz 30
menjadi lebih mudah dihafal dibanding juz-juz lain dalam al-Quran.
Dengan kemudahan tersebut, seorang santri akan mampu meraba sendiri
kemampuan menghafalnya. Kalaupun dia terhenti di tengah jalan, tidak
akan sia-sia. Sebab, suratnya pendek-pendek dan banyak berguna untuk
menjadi imam shalat, minimal efektif untuk dijadikan wirid atau bacaan
rutin harian.
Ibarat bangunan rumah, bangunan yang sudah lengkap; ada
dinding, pagar serta atap, ia akan bertahan lama meski tidak dihuni dan
tidak terawat. Demikian juga hafalan. Ketika seseorang menghafal satu
surat secara utuh, biasanya akan awet atau tahan lama, meski lama tidak
dibaca. Resikonya menghafal juz 1 pada tahap awal akan mudah hilang
seandainya terhenti di pertengahan juz.
18. Dengarlah rintihan orang yang ingin menghafal, namun tidak tercapai
Diakui ataupun tidak, menghafal al-Quran itu bagi umumnya
kaum muslimin maupun muslimat merupakan naluri. Ia akan muncul dan
tenggelam sesuai lingkungan dan situasi yang melingkupinya. Naluri itu
kadang menjelma menjadi sebuah cita-cita dan harapan, layaknya kekayaan,
jabatan dan popularitas. Cita-cita tersebut akan berubah menjadi
menyakitkan manakala tidak tercapai.
Beberapa teman yang dulu ingin menghafal, rata-rata mereka
menyesali kenapa keinginan tersebut dulu tidak direalisasikan dalam
wujud usaha. Lebih-lebih, mereka yang pernah menghafal dan belum tuntas,
atau pernah hafal namun kini pergi entah ke mana, seumur hidup mereka
akan diliputi rintihan dan penyesalan. Mereka seakan hidup dalam
fatamorgana yang tiada henti dan pengandaian yang tak berujung;
seandainya dulu saya begini dan begitu, niscaya saya akan seperti mereka
yang sukses menghafal.
Sebelum kita merasakan pahitnya penyesalan, mari optimalkan
potensi dan maksimalkan ikhtiyar. Tentu perjuangan di awal itu beratnya
luar biasa. Penyesalan selalu berada di akhir cerita dan tak akan
pernah muncul di awalnya. Demikian pula, indahnya kesuksesan itu hanya
bisa dinikmati di akhir masa penantian panjang. Kata pepatah:
berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian, bersusah-susah dahulu
lalu bersenang-senang kemudian.
19. Jangan tunda, hidup ini selalu dipenuhi dengan kata “ternyata” dan “tiba-tiba”
Waktu ini kadang menyerupai fatamorgana. Dari jauh
kelihatan indah, seakan kita masih memiliki kesempatan 1000 tahun yang
tiap detiknya bisa diisi dengan 1000 aktifitas luar biasa. Namun,
ternyata waktu yang kita miliki begitu singkat dan sesak dengan berbagai
kesibukan harian yang teknis. Fatamorgana di atas akan meninabobokkan
setiap orang, terlebih jika ingin melakukan kegiatan besar yang positif.
Itulah ujian tiap orang yang ingin sukses.
Saat menghafal al-Quran, mahasiswa kadang begitu santai
dalam melangkah. Alasan mereka, nanti saja kalau perkuliahan agak
sedikit longgar, tugas kuliah terselesaikan semua, atau nanti saja kalau
liburan panjang datang, akan menghafal sebanyak-banyaknya bila mungkin
akan “bertapa” demi menyelesaikan hafalan. Sikap “taswif”
(menunda-nunda) ini merupakan penyakit menular yang sangat ganas, serta
penyebab utama dari setiap kegagalan menghafal.
Harus disadari, bahwa waktu kita secara matematis masih
terbentang luas, sebenarnya hanyalah waktu bayangan bukan waktu yang
sebenarnya. Misalnya; pada hari Minggu besok saya tidak ada kegiatan
mulai pagi sampai malam sehingga jadwal menghafal hari Sabtu ini ditunda
dulu lantaran agak sibuk. Marilah ditelaah contoh kasus penundaan di
atas. Manusia oleh Allah tidak diberi kemampuan untuk mengetahui takdir
di esok hari. Kita semestinya tidak mengandalkan waktu yang belum muncul
di hari ini. Ada banyak kemungkinan yang akan terjadi di esok hari,
diantaranya:
a. Memang betul longgar, tetapi tiba-tiba ada teman sakit yang butuh pertolongan kita
b. Memang betul longgar, tetapi tiba-tiba tubuh kita meriang/sakit
c. Memang betul longgar, tetapi tiba-tiba ada kabar kurang baik dari keluarga yang membuat kita susah
d. Pada pagi hari tiba-tiba ingin berolah raga atau main musik
e. Pada pagi hari, tiba-tiba ingin masak bersama teman atau mencuci baju
f. Pada siang hari, tiba-tiba ada acara televisi yang sangat bagus
g. Pada siang hari, tiba-tiba teman akrab lama datang
h. Pada siang hari, tiba-tiba ingin posting facebook atau menjawab email
i. Pada sore hari, tiba-tiba ingin bersih-bersih ruangan dan taman
j. Pada sore hari, tiba-tiba HP/komputer kita bermasalah yang butuh penanganan segera
k. Pada sore hari, tiba-tiba motor kita ditilang oleh polisi
l. Pada sore hari, tiba-tiba tetangga kita meninggal dunia
m. Pada sore hari tiba-tiba ingin cari makan yang enak
n. Pada sore hari tiba-tiba muncul rasa malas atas terkantuk ingin tidur
Dan masih ada ratusan kemungkinan lain yang menggagalkan kita untuk melakukan kegiatan di hari itu. Masihkah kita suka menunda?
20. Mimpikan kebaikan agar jadi kenyataan, nyatakan kebaikan agar jadi mimpi indah
Hampir setiap orang memiliki “mimpi” dan cita-cita untuk
menjadi sesuatu atau memiliki sesuatu. Namun, kondisi fisik, psikologis,
sosial kerapkali menenggelamkan mimpi itu. Sebetulnya orang yang
memiliki “mimpi sukses” itu tergolong orang yang hebat, sebab tidak
semua orang punya mimpi. Mimpi itu termasuk ingin hafal al-Quran.
Anugerah Allah yang berupa “mimpi untuk hafal al-Quran” jangan pernah
disia-siakan. Lakukan penguatan “mimpi” tersebut agar menjadi motivasi
kuat dengan banyak membaca kisah-kisah para pengahafal al-Quran serta
hikmah-hikmah menghafal.
Dengan demikian, motivasi menjadi kuat dan bisa
menggerakkan anggota tubuh untuk meralisasikannya menjadi kenyataan.
Disini diperlukan metode dan strategi, supaya mimpi itu tidak dibelokkan
menjadi angan-angan hampa belaka. Yakinlah setelah mimpi itu terwujud,
tentu hari-hari kita begitu indah bersama al-Quran bagaikan mimpi yang
membuai angan dan memanjakan khayalan.
21. Awali dari diri sendiri, kalau kita mendambakan sebuah keluarga “Qur’ani”
Kita tentu tergiur dengan kesuksesan keluarga bapak
Mutammimul Ula yang kesepuluh anaknya hafal al-Quran, atau ingin meniru
Abdurrahman Farih dan Husein Thababai yang mana di usia balita mereka
sudah hafal al-Quran. Kita juga ingin rumah selalu bergaung suara
al-Quran dari mulut anak-anak.
Hanya saja, semua harus dimulai dari diri kita (suami,
istri, bapak, ibu). Bagaimana mungkin anak-anak akan mengikuti jejak
orangtuanya, sementara orangtua tak memberi contoh pada mereka. Orangtua
yang hafal al-Quran akan dengan mudah mengenalkan dan membiasakan
hafalan pada putra-putrinya di manapun mereka berada. Mungkin setiap
berangkat sekolah, anak dituntun untuk menghafal surat-surat pendek.
Pasti tanpa terasa dalam kurun waktu satu tahun saja, anak akan hafal
lebih dari satu juz. Hal ini sulit terrealisasi bila orangtua belum
mulai menghafal sejak sekarang. Memang, orangtua yang punya hafalan itu
mendatangkan efek domino yang luas, bukan semata untuk diri sendiri,
tetapi juga untuk orang lain terutama keluarga dekatnya.
SUMBER ARTIKEL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar